oleh

FENOMENA PEMBERANTASAN KORUPSI PENYELENGGARA NEGARA

-Opini-443 views
Oleh: Dr. FIRMAN TOBING
Akademisi & Member of Law and Economic Academic Forum Of Indonesia
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) memberikan pengertian bahwa Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap mengedepankan asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Untuk memastikan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN Penyelenggara Negara berdasarkan UU tersebut harus bersedia diperiksa dan melaporkan kekayaannya dalam Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) baik sebelum maupun setelah menjabat.
Pemeriksaan dan pengawasan dilakukan oleh Komisi Pemeriksa yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Harus diakui bahwa paradigma pemberantasan korupsi dewasa ini mengalami penurunan terutama dari sisi kualitas.
Korupsi semata-mata hanya dilihat dari sudut pandang penindakan (kuratif) tanpa adanya upaya melakukan pemberantasan dari aspek para penyelenggara negara (preventif) yang merupakan mata rantai utama dalam pemberantasan korupsi.
Upaya mendisiplinkan penyelenggara negara merupakan pemberantasan korupsi berbentuk pencegahan yang dapat memiliki efek domino yang luar biasa.
Selama ini LHKPN merupakan acuan dasar kekayaan penyelenggara negara, namun sayangnya hal ini dapat dimanipulasi sehingga perilaku koruptif penyelenggara negara dapat tersamar.
Oleh karena itu diperlukan langkah lebih jauh untuk menjadikan LHKPN sebagai pintu masuk penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor) penyelenggara negara.
Selain itu institusi lain dapat berfungsi sebagai supporting system pemberantasan korupsi haruslah didudukkan sebagaimana mestinya agar dapat membantu upaya pemberantasan korupsi dengan membuka diri terhadap seluruh informasi transaksi keuangan, perbankan, dan perpajakan penyelenggara negara.
LHKPN pada dasarnya merupakan suatu rangkaian catatan pergerakan harta penyelenggara negara yang didapatkan selama masa jabatan/masa tugas penyelenggara negara.
Seringkali yang terjadi antara LHKPN dan kewajaran kekayaan penyelenggara negara sangat tidak seimbang, dimana seorang penyelenggara dengan eselon dan tingkat jabatan tertentu memiliki kekayaan yang melebihi perkiraan maksimal gaji dan tunjangan yang dapat dikumpulkan, meskipun penyelenggara negara tersebut berdalih memperolehnya dari sumber lain yang halal seperti warisan, jual beli dan bisnis lainnya.
Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa LHKPN penyelenggara negara saat ini dirasakan tidak dapat memberikan kepatuhan dan efek jera kepada penyelenggara negara karena sifat LHKPN yang menjadi “benda mati” karena tidak dapat memberikan pengaruh apapun kepada penyelenggara negara yang terindikasi memiliki kekayaan tidak wajar selain sanksi administratif sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.
Oleh karena itu, penyelenggara negara yang memiliki kekayaan melebihi batas maksimal peroleh gaji dan tunjangan selama kurun waktu menjabat dapat berdalih dengan alasan memperolehnya dari sumber lainnya.
LHKPN Pintu Masuk Pemberantasan Korupsi
Paradigma pencegahan korupsi model penyampaian LHKPN yang berujung pada sanksi administratif merupakan langkah preventif yang memiliki kadar paling rendah dalam upaya pemberantasan korupsi karena tidak memiliki daya paksa bersifat penghukuman kepada penyelenggara negara tersebut.
Bahkan lebih jauh, model pencegahan di atas masih memungkinkan penyelenggara negara yang memiliki kekayaan tidak wajar dapat menjadi pejabat publik tertentu.
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut di atas, maka seluruh penyelenggara negara yang memiliki fungsi dan kewenangan strategis diwajibkan untuk bersedia diperiksa, melaporkan dan diumumkan harta kekayaanya. Namun ketiga hal tersebut tidak cukup, karena bersifat pasif.
Laporan tersebut kemudian tidak dapat menjadi bukti permulaan untuk dilakukannya suatu langkah penyelidikan suatu delik korupsi oleh penyidik, bahkan laporan yang dibuat akan sangat rawan dimanipulasi sebelumnya sehingga harta asal telah disamarkan terlebih dahulu perolehannya.
Menurut Eddy O.S. Hiariej dalam pengungkapan delik korupsi perlu perluasan alat bukti di mana tidak ada pembatasan yang tegas antara barang bukti dan alat bukti sebagaimana dalam delik terorisme terkait dengan informasi dan data elektronik.
Pola tersebut dapat ditiru dan direplikasi untuk mendudukkan LHKPN sebagai barang bukti dan/atau alat bukti yang dapat membuka penyidikan kejahatan korupsi.
Dalam konteks penyelidikan, LHKPN yang tidak wajar seharusnya sudah masuk ke dalam ranah suatu penyelidikan untuk mengetahui apakah ketidakwajaran jumlah tersebut berasal dari cara yang baik atau tidak.
Jika merujuk pada Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana salah satu rangkaian tindakan penyelidikan adalah penelitian dan analisis dokumen. Jika ketidakwajaran tersebut adalah tindak pidana, maka akan diteruskan ke tahap penyidikan.
Bahkan jika dirasa perlu, penyidik dapat meminta dan melibatkan Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan penelusuran transaksi keuangan untuk menjerat tersangka pelaku kejahatan.
Tujuan penting lainnya dari penerapan LHKPN pada dasarnya adalah menghindarkan penegak hukum, dari festivalisasi penindakan dalam bentuk Operasi Tangkap Tangan (OTT).
namun langkah tersebut bukanlah panacea yang sebenarnya. Sebanyak apapun OTT yang dilakukan jika sumber korupsinya tidak disentuh, maka pemberantasan korupsi hanya akan bersifat festival semata.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed